Secara historis, pencatatan tentang aktivitas usaha sudah ditemukan sejak lama, diperkirakan sekitar 3600 sebelum masehi di Babilonia. Kemudian beberapa catatan lain juga ditemukan di Mesir dan Yunani kuno. Sampai dengan abad ini, perkembangan ilmu akuntansi terus terjadi, sekalipun akuntansi merupakan ilmu pasti, namun aplikasinya untuk dunia usaha yang memang dinamis menyebabkan ilmu akuntansi pun seiring mengikutinya. Perkembangan dan perubahan inilah yang kemudian menjadikan ilmu akuntansi demikian “fleksibel”. Pengguna ilmu ini tentu saja semua orang tidak terkecuali, yang ingin mendapatkan informasi atas status keuangannya, dari ibu rumah tangga melalui anggaran belanja bulanannya ke pasar sampai dengan pengusaha atas informasi keuangan pada usaha-usahanya.
Bagaimana penerapan ilmu Akuntasi pada usaha kecil di Indonesia? Perputaran uang memang sampai sejauh ini masih didominasi oleh perusahaan kaliber raksasa atau multinasional, namun secara kuantitas jumlah unit usaha yang justru mayoritas berada dalam skala kecil menengah. Dari banyaknya usaha kecil menengah yang ada, sebagian besarnya dikelola oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan akademik maksimal SMU dan bahkan sebagiannya lagi tidak memiliki pengalaman kerja. Yang mereka kerjakan semuanya berlandaskan intuisi dan semangat, sebagian besar dari mereka kemudian berhasil menjadi usahawan besar dan reputasinya patut diperhitungkan, namun tidak sedikit pula yang akhirnya gagal. Pakar marketing Rheinald Kasali menyampaikan, jika sebuah intuisi dapat dikombinasikan dengan pengetahuan teoritis seperti yang didapatkan dibangku kuliah, maka ini akan menjadi sebuah kekuatan wirausaha yang efektif.
Ada sebuah gurauan yang Saya baca dari artikel Ekuslie Goestiandi yang dimuat tabloid Kontan. Isinya soal prediksi masa depan para mahasiswa perguruan tinggi menurut masa studi dan indeks prestasi. Jika seorang mahasiswa lulus cepat dengan indeks prestasi tinggi maka kelak mahasiswa tersebut akan menjadi profesor atau peneliti lembaga riset. Namun seandainya mahasiswa tersebut lulus dengan masa studi dan indeks prestasi pas-pasan, maka paling banter akan menjadi manajer-profesional kantoran. Bagaimana dengan yang tidak lulus, drop out, bahkan tidak pernah menyentuh bangku kuliah? Maka kelak orang itu akan menjadi Bill “microsoft” Gates, Michael “computer” Dell, Jeff “Amazon.com” Bezos atau Larry “Oracle” Ellison. Ya mereka adalah orang-orang yang lulus ditengah jalan alias drop out namun menjadi pebisnis besar dan orang-orang terkaya didunia.
Cerita yang bisa kita petik adalah hasil akademik tidak berbanding lurus dengan prestasi bisnis. Hal ini bisa terjadi karena orang yang cerdas secara akademis cenderung suka berpikir dan lamban bertindak, yang menjadikan langkah karir mereka pun pelan. Bahkan saking seringnya berpikir, mereka tidak pernah mengeksekusi hasil pemikiran dan analisanya tersebut dalam bentuk keputusan. Tentu saja ini hanya gurauan, namun sekalipun demikian toh cerita ini cukup mencerminkan peta jalan pilihan hidup seseorang, karena faktanya orang-orang yang pada akhirnya menempuh pendidikan sampai dengan tingkat minimal sarjana, biasanya memang menjadi pegawai/karyawan, namun justru mereka yang pendidikannya tidak setinggi sarjana justru yang meramaikan peta wirausahawan. Mulai dari usaha kecil sampai dengan menengah, bahkan seperti dalam gurauan diatas, tidak sedikit yang pada akhirnya menjadi pengusaha-pengusaha kelas atas.
Nah yang menarik adalah anti tesis dari kecenderungan fakta ini. Ilmu ekonomi dalam agenda akademik memang sudah didapatkan sejak sekolah tingkat pertama [kelas 7 atau SMP kelas 1], sementara akuntansi mulai dikenalkan pada tingkat atas dengan bab perkenalan dasar atau pengantar. Akuntansi atau ilmu pembukuan, baru kemudian menjadi materi yang dibahas lebih dalam ditingkat kuliah. Dan menjadi materi utama pada jurusan ekonomi, baik akuntansi, manajemen ataupun studi pembangunan. Bagi yang hendak menjadi profesional, biasanya akan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, dari S2 sampai dengan memperoleh gelar doktor, atau gelar AK untuk mereka yang konsentrasi menjadi konsultan keuangan / perpajakan atau akuntan publik. Persoalannya kemudian, dengan pembelajaran ilmu akuntansi yang baru didapatkan pada jenjang perkuliahan, lalu bagaimana dengan mereka yang akhirnya menjadi wirausahawan dan tidak pernah mengenyam bangku kuliah, bahkan tidak sedikit yang hanya menyelesaikan pendidikan wajib belajar 9 tahun saja alias tingkat SMP/kelas 9. Bukankah dalam mengelola dan menjalankan usahanya juga memerlukan yang namanya ilmu akuntansi, sementara para usahawan tersebut sama sekali tidak pernah belajar materi laporan keuangan.
Ada beberapa pilihan yang kemudian diambil oleh para usahawan seperti ini, pertama mereka mengabaikan akuntansi dalam menjalankan usahanya, yang mereka cukup ketahui adalah operasional usaha bisa berjalan dan uang terus berputar. Persoalannya, inilah salah satu faktor mengapa sebuah usaha pada akhirnya gagal bertahan, kalaupun sanggup kecil kemungkinannya dapat berkembang. Kedua, usahawan yang kemudian belajar akuntansi secara otodidak, membeli buku atau tanya sana sini. Tidak jarang sebagian dari mereka justru membuat kalkulasi sendiri, selama hal tersebut bisa menjadi informasi berkaitan dengan status keuangannya itu sudah dirasa cukup. Inilah yang kemudian Saya sebut sebagai “akuntansi jalanan”. Terakhir, mereka mencari karyawan yang mengerti akuntansi, namun pada kelompok ini sangat sedikit karena pada umumnya usaha kecil nyaris tidak pernah ada pos kerja untuk akunting atau tenaga keuangan, karena memang akuntansi yang digunakan pun relatif sederhana, disatu sisi informasi akuntansi pada usaha kecil bisa mencakup hingga ke informasi detil berkaitan dengan harta dan kekayaan pemilik usaha, karenanya hal ini cenderung dihindari.
Leave a Comment